Sejumlah kota dunia memiliki cara unik untuk mengatasi banjir yang selalu menghantui. Banjir yang mereka hadapi mulai dari sungai hingga gelombang pasang laut seperti rob.
Serupa seperti Jakarta, kota-kota ini juga memerangi banjir. Beberapa negara seperti Belanda mencoba mengubah pendekatan mereka terhadap banjir yang kerap menyambangi.
Belanda tak lagi membangun tanggul-tanggul dan membeton pinggir sungai untuk mencegah banjir. Melainkan mereka mencoba memberi ruang ketika sungai-sungai tengah kelebihan air.
Di Indonesia, pendekatan dengan melakukan pembetonan sungai dikenal dengan istilah normalisasi. Sementara pendekatan kedua dikenal dengan istilah naturalisasi. Debat antara kedua pendekatan ini memang tengah ramai dibicarakan di tanah air.
Kota Tokyo punya penampungan air bawah tanah yang super tinggi dan besar sehingga kerap disebut katedral bawah tanah. Penampungan air bawah tanah yang dikenal sebagai proyek G-Cans.
Penampungan air bawah tanah ini punya tinggi 25,4 meter atau kira-kira setara dengan gedung 6 lantai. Penampungan ini dibangun selama 13 tahun. Mulai dibangun pada 1993 dan selesai pada 2006. Total biaya yang dihabiskan sebesar US$2,6 miliar (Rp36 triliun; US$1=Rp13,853.90).
Lokasi kanal ini terletak 22 meter di bawah tanah Kasukabe, utara Tokyo. Penampungan ini merupakan bagian dari Metropolitan Area Outer Underground Discharge Channel (MAOUDC). Ini adalah sistem pertahanan banjir di Tokyo.
Sistem ini terdiri dari kanal dan ruangan super besar yang disangga oleh puluhan menara silinder setinggi 70 meter. Sistem pertahanan banjir ini punya lima ruangan silinder G-Can yang masing-masing bisa menampung hingga 13 juta galon air, seperti dilansir Wired.
Banjir dari sungai-sungai yang lebih kecil akan disalurkan lewat sistem kanal tadi dan disalurkan pada sungai Edo yang lebih besar. Jika sungai itu sudah tak mampu lagi menampung, maka air-air itu akan dialirkan ke salah satu dari lima G-Can yang ada di sistem itu, lapor BBC.
Tokyo disebut sebagai kota yang paling rawan lantaran punya banyak risiko bencana. Kota ini menjadi wilayah yang dilalui oleh 5 sungai besar dan puluhan sungai kecil yang pasti meluap tiap musim.
Selain itu ada lagi risiko badai, cuaca ektrem, gempa bumi, penurunan muka tanah, hingga sebagian besar wilayah yang kini berada lebih rendah dari permukaan laut, seperti dilansir New York Times.
Cuaca ekstrem tampak dari peningkatan curah hujan hingga 30 persen dalam 30 tahun terakhir, seperti diperkirakan Badan Meteorologi Jepang. Frekuensi hujan deras di kota ini pun meningkat 70 persen.
Selain itu, penyedotan air bawah tanah dalam setengah abad terakhir menyebabkan sebagian wilayah Tokyo mengalami penurunan permukaan tanah hingga 4,5 meter. Ditambah dengan sebagian besar wilayah Tokyo saat ini berada di bawah permukaan laut dan dilindungi oleh saluran air yang sudah tua.
Rotterdam, Belanda
Maeslantkering (Istockphoto/janssenkruseproductions)
Belanda saat ini menjadi pusat percontohan solusi banjir dunia. Sebab negara dengan 60 persen wilayah negara ini rawan banjir, seperti dikutip The Guardian. Apalagi 26 persen wilayah Belanda ada di bawah permukaan laut. Sehingga, banjir menjadi bencana yang sulit terelakkan bagi Belanda. Banjir yang menghantui Belanda berasal dari laut Atlantik dan sungai yang mengalir melewati kota-kota mereka.
Belanda telah berjuang mengatasi banjir sejak berabad lalu. Kincir angin Belanda yang terkenal itu sebenarnya adalah salah satu solusi untuk mengatasi banjir. Sebab, bagian bawah kincir yang dibangun sejak abad 14 ini sesungguhnya terdapat saluran untuk memompa kelebihan air dari untuk mengeringkan areal persawahan di Belanda.
Belanda pun telah membuat banyak dam untuk menahan agar air laut tak memasuki daratan mereka yang lebih rendah. Mereka memadukan bukit pasir, tanggul, membuat bendungan, dan perencanaan tata kota.
Kincir angin di Belanda punya banyak fungsi, selain sebagai tempat penggiling, kincir angin juga dipakai untuk mengeringkan lahan yang kelebihan air. (Istockphoto/petekarici)
Lihat juga:Menakar Kesalahan Ekologi Versi Jokowi soal Banjir Jakarta
Sebab, Belanda juga merancang taman dan area publik di kota-kota mereka sebagai waduk darurat ketika air membanjiri kota seperti dilaporkan Public Radio International (PRI). Sebagai contoh, mereka membuat lapangan basket yang bisa menampung dan menyalurkan kelebihan air.
Di era modern, kesiapan mereka menghadapi banjir pun makin canggih. Sejak banjir besar yang menewaskan 1.800 jiwa pada 1953, Belanda membangun sistem pertahanan banjir besar-besaran.
Pada 1997, Belanda membangun penahan badai dari lautan yang dinamakan Maeslantkering. Gerbang besi besar dibangun di muka sungai Niuewe Maas yang menjadi jalur masuk ke pelabuhan Rotterdam. Maeslantkering. Dua gerbang besi raksasa digunakan untuk menutup muara sungai. Satu gerbang ini punya panjang serupa dengan tinggi menara Eifel. Sehingga, untuk menahan badai dari laut, Belanda mengerahkan dua gerbang setara menara Eifel ini, seperti dilaporkan CBS News.
Venice
Penanggulangan banjir di Venice menggunakan teknologi MOSE Project. Ini adalah sistem penanggulangan banjir akibat gelombang besar dari laut menggunakan gerbang yang bisa bergerak, sseperti dikutip Wired.
Korea Selatan
Korea Selatan punya dam buatan manusia terpanjang di dunia. Letak dam in terletak di tenggara semenanjung Korea, Tembok Laut.
Tembok Laut Seamagun, Korea Selatan (Istockphoto/Busan Drone
Dam ini selesai dibangun pada 2010 dan digunakan untuk mengamankan muara Saemangeum dari gelombang pasang Laut Kuning.
Dam ini terbentang sepanjang 33 kilometer, lebar 36,5 meter, dan tinggi 290 meter ini dijuluki sebagai Tembok Besar di laut. Pemerintah Koera Selatan menghabiskan Rp23,9 triliun (2 triliun won; 1 won=11,95) untuk membangun dam ini. (eks/eks)
sumber : cnnindonesia.com